Meniti Usaha Fashion Yang Selalu Mengikuti Trend.

Selain makanan, pakaian merupakan bisnis yang tak pernah kehilangan pamor
dan selalu menjanjikan keuntungan besar di negara ini. Maklum, pakaian
merupakan salah satu kebutuhan utama dalam hidup. Sementara jumlah penduduk
Indonesia sangat banyak dan terus bertambah.

Apalagi, seiring pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat yang
meningkat, kini busana tak sekadar berfungsi sebagai alat penutup tubuh.
Busana atau fashion menjadi aksesori untuk mempercantik penampilan,
sekaligus bagian dari gaya hidup sesuai tren yang terus berkembang.

Tak heran, bisnis fashion dari hulu ke hilir terus berkembang seakan tak
lekang oleh pergantian waktu. Salah satunya adalah toko atau butik yang
menjajakan aneka busana, mudah ditemukan di pusat perbelanjaan atau berdiri
di pinggir jalan.

Yang paling mencolok dalam dua tahun terakhir ini adalah kehadiran
merek-merek busana kelas dunia yang membuka gerai di kota-kota besar di
Indonesia. Sebut saja di antaranya H&M, Uniqlo, dan Galeri Lafayette.
Mereka saling bersaing untuk memperebutkan pasar di negara yang pertumbuhan
kelas menengahnya meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.

Meski diserbu oleh merek-merek asing, toko busana lokal tetap memiliki
pasar tersendiri. Apalagi jika toko atau butik itu mengibarkan merek
sendiri dan mengusung ciri khasnya. Maklum, bagaimanapun itu menyangkut
selera masing-masing orang dalam berpakaian. Poppy Dharsono, perancang
busana kawakan, menilai potensi pasar usaha butik masih sangat bagus.
"Pasarnya luar biasa. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat meningkat, tentu
akan semakin memperhatikan fashion," katanya.

Pendapat bernada sama diutarakan perancang busana Ririn Rinura, pemilik
brand Rinura Fashion Designer. Desainer baru terus bertambah dan acara
peragaan busana semakin sering digelar. Hal lain yang mendukung
perkembangan bisnis fashion adalah semakin banyak masyarakat yang mulai
mencintai produk dalam negeri. "Dari sisi bisnis, usaha ini akan memberikan
prospek menarik," katanya.

Ririn mengaku bisa mencatatkan omzet sekitar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta
per bulan. Sementara margin keuntungannya mencapai 30% hingga 40%. Harga
pakaian buatannya dibanderol seharga Rp 1,5 juta hingga Rp 7 juta. "Yang
paling banyak terjual itu pakaian di kisaran harga Rp 2,5 juta–Rp 3 juta,"
imbuhnya.

Omzet yang lebih besar ditangguk oleh Lenny Agustin. Perancang busana ini
mengklaim bisa memperoleh omzet sekitar Rp 260 juta setiap bulan dengan
margin bersih sekitar 35% dari omzet tersebut. Lenny memiliki dua merek
pakaian. Pertama, "Lennor" dengan konsep kasual dan bisa dipakai
sehari-hari. Banderol harganya hingga Rp 1 juta. Kedua, merek "Lenny
Agustin" dengan desain elegan, seperti pakaian kebaya dan gaun. Harga
jualnya antara Rp 1,5 juta hingga Rp 100 juta.

Lain lagi dengan Kiki Chan, pemilik merek busana Fragrance Kikichan asal
Bandung yang sudah merintis usahanya sejak tahun 2007. Ia mengaku biasa
menerima 20 pesanan hingga 30 pesanan dalam sebulan. Sementara kisaran
harganya antara Rp 575.000 hingga Rp 25 juta per pakaian.

Meski terlihat menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, tidak mudah
menggeluti usaha fashion butik ini. Para perancang busana dan pemilik butik
itu mengaku hasil tersebut diperoleh melalui keuletan dan waktu yang
panjang serta strategi tepat agar rancangannya dilirik masyarakat.

Selain itu, ada beberapa faktor yang harus dimiliki seorang wirausaha untuk
mengembangkan usaha butik. Berikut ini segelintir poin penting yang
disarikan dari pengalaman beberapa perancang busana dan pemilik butik
tersebut.

• Modal

Meski modal berperan penting dalam mengawali bisnis ini, Lenny Agustin
menilai faktor itu masih bisa disiasati. Ia berkisah, memulai usahanya
sejak tahun 2001 silam dengan modal sebesar Rp 20 juta. Sebagian dari dana
itu digunakannya untuk menyewa tempat di kawasan Setiabudi, Jakarta
Selatan, selama dua tahun. Di lokasi ini dia mendirikan butik sekaligus
tempat workshop. Selain itu, modal awal tersebut digunakan untuk membeli
bahan baku, mesin jahit, perlengkapan, dan dana cadangan untuk menggaji
karyawan.

Saat mengawali usaha, Lenny dibantu empat orang karyawan. "Kalau baru
memulai usaha, sebaiknya jangan banyak-banyak dulu pegawainya," katanya
memberikan saran. Opsi lain untuk menyiasati minimnya tenaga karyawan pada
awal usaha adalah merajut kerja sama dengan penjahit luar.

Sementara Kiki memulai usahanya pada tahun 2007 dengan modal dana cuma Rp 3
juta. Dana tersebut dipakai untuk membeli bahan baku dan biaya operasional.
Nah, uang hasil penjualan tersebut kemudian diputarnya lagi untuk menjadi
tambahan modal.

Berbeda dengan Ririn, yang merogoh kocek cukup dalam untuk membuka usaha
butiknya. Wanita kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 27 tahun silam ini
menghabiskan duit sekitar Rp 250 juta. Uang itu digunakan untuk membeli
berbagai peralatan, bahan baku, gaji pekerja, serta membeli tempat usaha.

• Ciri khas

Selain pendanaan, sejatinya modal utama untuk membangun usaha butik busana
dengan desain sendiri adalah keterampilan dan pengetahuan di bidang desain.
Pengetahuan ini bisa dari sisi teknis, seperti pengetahuan mengenai badan
manusia, jenis kain, hingga perkembangan tren terbaru.

Pengetahuan tersebut penting agar pemilik butik bisa memiliki dan
mengembangkan ciri khasnya sendiri. Contohnya Lenny yang mengklaim busana
yang dijajakan di butiknya memiliki ciri khas penggunaan ide dasar
tradisional yang diaplikasikan secara funky dan bebas. Ia banyak
menggunakan kain tradisional Indonesia seperti lurik, kebaya, dan tenun
makassar. Meski begitu, bahan-bahan tradisional tersebut didesain dengan
aneka warna, girly, dan berjiwa muda.

Menurut Lenny, semangat kebebasan dengan memadupadankan aneka warna, motif
dan model dalam dunia fashion sangatlah penting. "Yang seperti itu baru
berasa fashion. Fashion itu, kan, ekspresi diri manusia," ujar wanita
kelahiran Surabaya, 40 tahun silam ini.

Kiki pun menilai ciri khas tersendiri sangat penting dalam berbisnis butik
busana. Ia bilang, merek Fragrancekikichan menjadi kuat berkat ciri khas
dan karakternya yang mengusung gaya elektrik. Dengan ciri tersebut, dia
membidik target pasar yakni konsumen berusia 17 tahun–35 tahun.

Sementara Ririn fokus membuat dan memasarkan busana kebaya, baju, dan gaun
malam. Ciri khas yang ditonjolkan dari barang dagangannya itu adalah
glamor, penuh warna, dan feminin. Dengan memiliki ciri khas tersendiri itu,
dia mengaku bisa meraih kesuksesan.

• Pasokan bahan baku

Jika sudah memiliki ciri khas dan semangat menyala di dunia fashion, hal
lain yang harus diperhatikan adalah pasokan bahan baku busana. Bahan baku
ini cukup penting dalam menentukan kesuksesan usaha butik busana.

Dengar saja pengalaman Ririn saat memulai usahanya tahun 2008. Ia sempat
gagal dan usahanya terpaksa gulung tikar. Ceritanya, dia bekerjasama dengan
rekannya membuka butik di Kemang, Jakarta Selatan. Busana yang dia jajakan
sebagian dibeli dari pihak lain dan sebagian lagi dijahit sendiri.
Kegagalan menghampirinya karena menjual produk dengan harga terlalu mahal.
Maklum, ia membeli bahan satuan dengan ongkos jahit yang mahal.

Meski sempat bangkrut dan menghabiskan uang banyak di usaha pertamanya,
Ririn tak patah arang. Ia bahkan memberanikan diri masuk sekolah mode dan
desain tahun 2010. Di sekolah mode tersebut, ia belajar langsung membeli
perlengkapan dan bahan baku. Setelah lulus di tahun 2011, Ririn kembali
membuka butiknya.

Kini, Ririn punya jurus ampuh untuk mendapatkan bahan baku berharga murah
namun berkualitas bagus. Dia membeli kain secara partai besar atau
gulungan. "Bisa dapat potongan sampai 25%," ujar Ririn, yang gemar berburu
bahan kain di kawasan Mayestik dan Blok M, Jakarta Selatan.

Urusan bahan baku ini memang tak bisa dianggap sepele. Poppy Darsono bahkan
kerap blusukan untuk mencari bahan yang sesuai bagi butiknya. Ia mengaku
sering berkunjung ke perajin kain di daerah seperti Jepara, Kebumen, dan
Solo. "Saya juga menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha mikro di
daerah," imbuhnya.

Hal serupa dilakoni Lenny Agustin. Ia banyak menggunakan kain tradisional
dalam busana rancangannya. Padahal, harga bahan tradisional di Jakarta
mahal dan berkali-kali lipat lebih tinggi dari harga kain tradisional di
daerah.

Demi menyiasati masalah itu, Lenny rajin mencari langsung bahan baku ke
perajin di daerah. Ia mengantongi lebih dari seratus nama perajin. "Setiap
ke daerah saya selalu blusukan ke perajin, mengecek harga dan melihat karya
mereka yang unik, berkualitas, tapi harganya tidak mahal," katanya. Ia juga
rutin bekerjasama dengan puluhan perajin tersebut.

• Strategi bisnis

Lazimnya di semua bidang usaha, pemilik butik busana juga harus menerapkan
strategi bisnis agar usahanya berkembang dan tidak merugi. Salah satu
strateginya adalah menetapkan harga jual. Menurut Lenny, harga bahan baku
biasanya sebesar 30% hingga 35% dari harga jual. Ini merupakan perhitungan
yang ideal. Rinciannya, dari pendapatan itu, idealnya sepertiga untuk bahan
baku, sepertiga untuk biaya operasional, dan sepertiga untuk promosi dan
mengikuti peragaan busana.

Strategi bisnis lain yang perlu dilakukan adalah cara promosi dan
pemasaran. Menurut Kiki, pemasaran dari mulut ke mulut atau rekomendasi
orang terdekat masih menjadi strategi paling ampuh. Makanya, ia sangat
menjaga kepercayaan dan kepuasan pelanggannya. "Dari situ mereka jujur
merekomendasikan produk saya," katanya.

Memang, cara ini tidak bisa menghasilkan dalam waktu singkat seperti
beriklan di media atau mengikuti acara peragaan busana. Kiki mengaku
beberapa kali mengikuti fashion show di Bandung dan Jakarta. Produknya juga
kerap mengisi seksi khusus fashion di majalah ternama dalam dan luar negeri.

Lenny juga menganggap pemasaran dari mulut ke mulut merupakan cara paling
ampuh menggaet konsumen busana. Agar menjadi bahan omongan masyarakat, tak
cukup hanya memuaskan pelanggan dari sisi produk. Ia bilang, kepribadian si
pemilik butik juga harus baik. Apalagi, jika menyasar pembeli kelas
menengah ke atas; pelayanan yang baik, ramah, dan menyenangkan sangat
penting.

Konsumen yang datang sangat penting dijaga. Leny mengenang bagaimana
sulitnya mendapatkan pelanggan ketika mengawali usahanya. "Satu tahun
pertama itu bisa nyaris tak ada yang minta jahitan," katanya. Agar dikenal,
dia membuat foto produknya dan mencetak di dalam brosur. Lalu, brosur itu
disebar di sekitar butiknya.

Selain itu, Lenny rajin mengikuti lomba desain busana. Tujuannya agar
namanya semakin dikenal masyarakat. Dari situlah, ia kerap diminta mengisi
rubrik fashion di berbagai media massa dan diundang mengikuti fashion show.
Pelanggan Lenny saat ini mulai dari kalangan artis hingga istri para
pejabat. "Hampir semua pakaian panggung Gita Gutawa dari saya," imbuhnya.

Sedangkan Ririn memiliki cara unik dalam memasarkan produknya. Ia rajin
mengikuti arisan ibu-ibu lantaran target pasarnya adalah kaum sosialita dan
ibu-ibu pengusaha dari golongan menengah ke atas. "Saya ikut hingga 10
arisan," katanya.

Ia juga berpromosi dengan menyediakan busana bagi artis-artis tertentu. Ini
menjadi ajang promosi busananya secara tidak langsung di acara televisi
maupun acara off air si artis itu. Kini, banyak artis yang menjadi
pelanggannya, seperti Mayangsari, Indra Brugman dan Ussy Sulistyowati.

• Tren mode

Dalam berbisnis butik, tren busana dan mode yang tengah berkembang harus
selalu diperhatikan. Biasanya, tren fashion itu sudah bisa diperkirakan
sejak setahun sebelumnya. Seperti, tren tahun ini. Menurut Poppy Dharsono,
model berpotongan feminin dan elegan akan banyak dipilih para konsumen
seiring meningkatnya peran wanita karier. Dari sisi warna, biru kehijauan,
oranye dan cokelat akan mendominasi.

Mantan peragawati ini menambahkan, fashion Indonesia akan didominasi motif
kedaerahan. Misalnya batik Jawa Tengah dan batik Kalimantan. Agar tidak
jenuh, motif floral juga masih akan menjadi pilihan para desainer busana.

Berbeda dengan taksiran Ririn yang bilang, tren tahun ini akan kembali ke
kasual, simpel, dan klasik dengan detail unik. Sementara warnanya colorfull
dengan paduan warna cerah akan menjadi favorit.

Sementara itu, Lenny melihat tren digital akan sangat mendominasi busana
tahun ini, baik dari motif, bahan, bentuk, hingga warna. Motif print
digital akan kian digemari dengan efek transparan. Sedangkan warna yang
menjadi tren adalah warna cerah dengan motif ekspresif. "Tapi saya ingin
tetap setia pada bahan tradisional, tapi diusahakan look digital," ujar
wanita penggemar perancang dunia Christian Lacroix, Vivian Westwood, dan
Kenzo ini.

Kiki menyampaikan pendapat yang tak jauh beda. Menurutnya, tren tahun ini
adalah busana dengan potongan lebih arsitektural, geometris, dan modern
dengan detail tiga dimensi. Motif dan coraknya cenderung pencampuran tabrak
corak, motif bunga, dan geometris.

Setiap perancang tentu sah punya taksiran tren busana tahun ini. Itulah
ciri khas dagangan mereka. Yang penting, bagi pemula, semua "rambu" para
senior itu diperhatikan agar usaha bisa berkembang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

An Evening in Paris.(Film India Jadul).

Laba Dari Tas Kaum Hawa.