Nyai Dasima

Nyai Dasima

Bagi para lelaki, kecantikan Dasima bak madu yang dapat disesap setiap
saat. Dasima adalah wanita yang berasal dari Kahuripan. Lantaran, enggan
hidup melarat, ia rela dijadikan wanita simpanan Tuan Edward. Dengan
menjadi wanita simpanan Tuan Edward, Dasima mendapat gelar Nyai yang
kemudian disandangnya di depan namanya. Hasil hubungan mereka, lahirlah
Nancy.

Atas kelahiran Nancy, Tuan Edward memberikan sebuah rumah di Pejambon untuk
Nyai Dasima lengkap dengan para pembantu yang siap melayani kebutuhan
Dasima. Kepindahan Nyai Dasima ke Pejambon tidak disertai oleh Tuan Edward,
sehingga laki-laki yang lewat depan rumah Nyai Dasima pasti berdecak kagum
pada si pemilik rumah. Sayangnya, mereka tidak berani masuk atau tidak
punya kesempatan masuk karena memang tidak punya kepentingan.

Dikisahkan dalam cerita rakyat ini, ada seorang laki-laki bernama Samiun.
Bisa dikatakan bahwa Samiun ini begitu beruntung, lantaran ia punya paman
seorang tentara dengan jabatan Komandan Onder Distrik Gambir. Berpeluanglah
ia masuk ke rumah Nyai Dasima atas nama pamannya. Ketika bertemu dengan
Nyonya pemilik rumah yang tidak lain tidak bukan adalah Nyai Dasima,
bergetarlah sanubari Samiun. Ia tidak menyangka Nyonya rumah begitu cantik
bak Sinta dalam cerita wayang.

Sejak pulang dari rumah kuntum Pejambon itu, Samiun bolak-balik ke rumah
Haji Salihun di Pecenongan untuk minta ilmu pelet. Kemudian, ia menyuap Mak
Buyung yang bekerja jadi pembantu Nyai Dasima untuk mengambil sehelai
rambut Nyai Dasima. Ia pun dengan lihai memainkan ilmu pelet yang diberikan
Haji Salihun. Mantra pelet Samiun, tepat mengenai sasaran. Nyai Dasima
menganggap Samiun pria tergagah di Batavia. Samiun pun membawa Nyai Dasima
ke rumah ibunya, setelah berkongsi dengan Hayati istrinya dan ibunya untuk
mengeruk harta Nyai Dasima—melalui pernikahan. Kembang Pejambon itu bak
kerbau dicucuk hidungnya, saat Samiun mengajaknya menikah.

Melihat perilaku Hayati, Mak Soleha dan Samiun yang berubah total, Nyai
Dasima sadar bahwa dirinya menjadi objek Samiun, Hayati dan Mak Soleha.
Nyai Dasima tak tahan lagi dan minta cerai. Samiun setuju menceraikan
dengan syarat harta Nyai Dasima yang ada di Pejambon pemberian tuan Edward
harus diserahkan pada Samiun.

Hayati sangat berperan dalam menentukan langkah Samiun. Hayati terus
mendesak agar Samiun bisa memperoleh harta Nyai Dasima. Dengan berbagai
upaya Samiun mencoba melunakkan hati Nyai Dasima agar bersedia mengalihkan
hartanya, tetapi hal itu sulit dilakukan Nyai Dasima. Tidak mungkin ia
kembali ke Pejambon menemui Tuan Edward, jangan-jangan kemurkaan dan
penjara yang didapatnya karena telah mempermalukan Tuan Edward di mata
orang Belanda dan Eropa umumnya.

Samiun menceraikan Nyai Dasima, tetapi tak mendapatkan hartanya. Sementara
Nyai Dasima tetap berada di rumah karena tak punya saudara di Batavia, tak
punya uang lagi untuk pulang ke kampungnya, tak punya keberanian menemui
Tuan Edward untuk memohon pengampunan atas kecurangan yang dilakukannya.

Hayati menjadi semakin kesal melihat Nyai Dasima yang telah berubah menjadi
beban bagi keluarganya. Hayati mendesak Samiun untuk menyingkirkan Nyai
Dasima, karena tidak bermanfaat lagi baginya, serta ketidaktepatan janji
Samiun membuatnya linglung. Ia mengambil keputusan menghabisi nyawa Nyai
Dasima.

Untuk melakukan hal itu, Samiun tak ingin melakukannya dengan tangan
sendiri, perlu menggunakan tangan orang lain. Untuk hal itu, Samiun menyewa
Bang Puasa—jagoan Kwitang dengan upah 100 Pasmat. Samiun merundingkan
teknis pelaksanaan penghabisan nyawa Nyai Dasima. Akhirnya, mereka
menyepakati cara terbaik yang harus dilakukan Samiun menyerahkan panjar
sebesar 5 pasmat kepada Bang Puasa.

Sikap Samiun mengembangkan senyum yang manis sekali kepada Nyai Dasima. Mak
Soleha menjadi kaget, mengapa Samiun bukannya mengusir Nyai Dasima malah
berbaikan. Hayati yang mendengarkan cerita dari Mak Soleha tentang sikap
Samiun menjadi sangat kesal. Ingin saja ia pergi ke rumah itu untuk
menghabisi nyawa Nyai Dasima.

Sikap Samiun yang simpatik dan terkesan melindunginya membuat semangat Nyai
Dasima tumbuh, serta hadir perasaan menyayangi kepada Samiun. Samiun
mengajak Nyai Dasima ke kampung Ketapang untuk mendengarkan pertunjukan
seni tutur tentang Amir Hamzah. Nyai Dasima yang telah melimpahkan
harapannya kepada Samiun langsung setuju dengan ajakan tersebut. Nyai
Dasima berharap mungkin malam ini adalah malam terindah dengan Samiun,
dapat berjalan di bawah sinar rembulan sambil bercengkerama menumpahkan
perasaannya selama ini terkandas di dasar lautan kebencian Hayati dan Mak
Soleha.

Nyai Dasima segera bersolek secantik mungkin dengan sisa kecantikan yang
dimilikinya. Mak Soleha menjadi jijik dan hampir saja meludahi muka Nyai
Dasima, untung ada Samiun, sehingga masih ada rasa segan pada sang anak.
Mak Soleha menjadi aneh dengan perilaku Samiun, jangan-jangan ilmu pelet
Samiun menjadi bumerang buat Samiun. Hayati yang mendengarkan laporan Mak
Soleha kelihatannya acuh tak acuh.

Hayati sendiri sudah hilang kesabaran atas janji Samiun yang akan
memberikan harta yang banyak buatnya. Sekarang Hayati masa bodoh, tak ada
gunanya berharap lagi, dan rasanya tak ada urusannya lagi dengan Nyai
Dasima dan Samiun.

"Ti... lu kok masa bodoh?" tanya Mak Soleha keheranan.

"Abis, mau diapain lagi, gua nggak percaya ame Samiun."

"Kalau Samiun jadi pergi dengan Nyai Dasima dan nggak balik lagi gimana?"

"Biarin, gue juga bisa cari lelaki lain."

"Astaghfirullah!"

"Percuma ngucap, kalau niatnya nggak baik."

Mak Soleha menjadi kaget dengan pernyataan Hayati, seakan menuding dirinya
ikut dalam permainan kotor mendapatkan harta milik Nyai Dasima. Mak Soleha
kemudian justru membenci Hayati dan bertekad minta pada Samiun untuk
menceraikan Hayati, biarlah dengan Nyai Dasima saja. Mak Soleha berubah
pikiran dan menyesali sikapnya yang sempat membenci Nyai Dasima belakangan
ini. Mak Soleha segera kembali ke rumahnya tetapi mendapati Samiun dan Nyai
Dasima telah pergi.

Samiun dan Nyai Dasima pergi ke Ketapang. Mereka bergandengan tangan
bagaikan dua sejoli yang baru mengenal cinta pertama. Sambil berjalan,
Samiun kelihatan gugup. Ingin saja mengurungkan niat untuk tidak jadi
pergi, tetapi menjadi bimbang manakala mengingat Hayati yang terus
mendesaknya, dan Mak Soleha yang selalu menatap dengan nanar dan lecehan.

"Rangkulin pinggang saya, Bang Miun," pinta Nyai Dasima.

"Kayak orang baru jatuh cinta aja," sahut Samiun, tetapi tangannya
melingkar di pinggang Nyai Dasima. Samiun menghentikan langkah, Nyai Dasima
ikut berhenti dan bertanya.

"Ada apa, Bang Miun?"

"Kita lewat sana aja."

"Kan Jalan Ketapang lewat sini?"

"Abang khawatir kalau-kalau ada opas Belanda, nanti kita ditangkap, lagian
Tuan Edward pasti masih nyariin lu."

Mereka menggunakan jalan lain, jalan setapak yang akan melewati sebuah kali
dengan jembatan titian bambu. Di ujung tepian kali tempat menyeberang,
Samiun melepaskan Nyai Dasima sendiri di belakang, bukannya menuntun tangan
Nyai Dasima agar tidak terpeleset manakala menyeberang. Nyai Dasima
tertinggal di belakang dan memanggil Samiun tetapi Samiun meneruskan
langkah untuk sampai ke tepian seberang kali.

Dalam kesempatan itu, sebuah bayangan muncul. Bayangan seorang lelaki kekar
dengan sigap memburu ke arah Nyai Dasima. Sambil mengirimkan pukulan maut
ke tengkuk Nyai Dasima. Pukulan itu meleset karena Nyai Dasima sempat
melangkah sebelum tangan lelaki kekar itu mendarat, sehingga yang terkena
bagian belakang tetapi sakitnya bukan main, Nyai Dasima menjerit memanggil
samiun. Samiun dengan tenang dan berkata, "Ajal lu sudah sampai, pasrahin
aja diri lu."

Nyai Dasima berusaha lari untuk minta perlindungan pada Samiun yang telah
berdiri di seberang tepian kali. Memang naas bagi Nyai Dasima, sebuah
pukulan keras yang keluar dari tangan Bang Puasa, mendarat tepat pada
posisi yang sensitif di bagian tengkorak kepala, dan Nyai Dasima ambruk bak
daun kering disapu badai gurun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

An Evening in Paris.(Film India Jadul).

Laba Dari Tas Kaum Hawa.